-->

Jelang Ramadhan 1438 H



Rajab mulai masuk pada ujungnya, sya’ban menjelang, Ramadhan datang. Jika saya membaca kisah sikap orang-orang shalih terdahulu terkait ramadhan, saya selalu bertanya mengapa perasaan dan sikapku jauh berbeda dengan mereka?..mereka seolah hamba yang sudah melihat dahsyatnya keutamaan, indahnya kemuliaan, indahnya taman-taman surga, mengerikannya siksa, dahsyatnya neraka dan seterusnya …dan seterusnya.. mari kita lihat bagaimana sikap dan perasaan mereka jauh hari bahkan jauh bulan menjelang Ramadhan.

6 Bulan sebelum Ramadhan

Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 232).

Setelah bulan ini tiba, mereka akan menyambutnya sebagai bulan penyuci dosa. Sebagaimana Umar bin Khattab di awal Ramadhan mengatakan, “Selamat datang bulan yang membersihkan kita dari dosa-dosa.”
Bahkan, untuk menyambut bulan yang mulia ini, para khulafaur Rasyidin terbiasa menyampaikan khotbah agar umat tahu tentang keutamaan Ramadhan dan hukum-hukum shaum.

Imam As-Sya’bi meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berceramah setelah shalat ashar dan subuh untuk menyambut bulan Ramadhan. Di antara isi khutbahnya yaitu:
“Ini adalah bulan penuh berkah. Allah mewajibkan shaum di bulan ini, tapi tidak mewajibkan qiyamul lail. Hati-hatilah kalian, jangan sampai mengatakan. ‘Aku akan shaum jika si fulan shaum. Aku juga akan berbuka jika si fulan berbuka’. Ketahuilah, sesungguhnya shaum itu bukan menahan diri dari makan dan minum. Tapi dari berbohong, berbuat bathil dan hal-hal tak bermanfaat. Jangan mendahului shaum. Jika sudah melihat hilal, berpuasalah. Jika sudah melihatnya berbukalah. Jika hilal tertutup awan, genapkan bulan Sya’ban 30 hari.” (Fadhail Awqat, Al-Baihaqi).

Besarnya harap akan datangnya Ramadhan ini di dorong oleh besarnya kefahaman atau pengetahuan tentang fadhilah, keutamaan dan kemuliaan Ramadhan itu sendiri. Semakin besar pengetahuan kita tentang keutamaan ramadhan sebesar itulah harap kita bertemu dengannya.
Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu mengatakan,

كُوْنُوْا لِقَبُوْلِ اْلعَمَلِ أَشَدَّ اهْتِمَامًا مِنْكُمْ بِاْلعَمَلِ أَلَمْ تَسْمَعُوْا اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يَقُوْلُ :إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ

”Hendaklah kalian lebih memperhatikan bagaimana agar amalan kalian diterima daripada hanya sekedar beramal. Tidakkah kalian menyimak firman Allah ’azza wa jalla, [إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ] “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al Maaidah: 27).” (Lathaaiful Ma’arif: 232).

6 bulan setelah Ramadhan

Sebagaimana ucapan Ulama salaf diatas bahwa enam bulan setelah Ramadhan merekapun mengisi hari-hari mereka dengan doa agar amalan yang mereka kerjakan selama Ramadhan diterima Alloh Swt.
Demikianlah sifat yang tertanam dalam diri mereka. Mereka bukanlah kaum yang merasa puas dengan amalan yang telah dikerjakan. Mereka tidaklah termasuk ke dalam golongan yang tertipu akan berbagai amalan yang telah dilakukan. Akan tetapi mereka adalah kaum yang senantiasa merasa khawatir dan takut bahwa amalan yang telah mereka kerjakan justru akan ditolak oleh Allah ta’ala karena adanya kekurangan. Demikianlah sifat seorang mukmin yang mukhlis dalam beribadah kepada Rabb-nya. Allah ta’ala telah menyebutkan karakteristik ini dalam firman-Nya,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُون

”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al Mukminun: 60).

Ummul Mukminin, ’Aisyah radliallahu ‘anha ketika mendengar ayat ini, beliau merasa heran dikarenakan tabiat asli manusia ketika telah mengerjakan suatu amal shalih, jiwanya akan merasa senang. Namun dalam ayat ini Allah ta’ala memberitakan suatu kaum yang melakukan amalan shalih, akan tetapi hati mereka justru merasa takut. Maka beliau pun bertanya kepada kekasihnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَهُمُ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ

“Apakah mereka orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?”
Maka rasulullah pun menjawab,

لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ

”Tidak wahai ’Aisyah. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, menegakkan shalat dan bersedekah akan tetapi mereka merasa takut amalan yang telah mereka kerjakan tidak diterima di sisi Allah. Mereka itulah golongan yang senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebajikan.” (HR. Tirmidzi nomor 3175. Imam Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahihut Tirmidzi nomor 2537).

Dan selepas Ramadhan mereka senantiasa melanjutkan amalan shalih dengan istiqomah. Melanjutkan amalan kebaikan dengan amalan kebaikan lainnya. Karena suatu amal kebaikan jika dikikuti dengan amalan kebaikan lainnya itu adalah tanda diterimanya amalan kebaikan yang pertama dan sebaiknya jika amalan kebaikan di ikuti dengan amalan keburukan maka itu adalah tanda ditolaknya amalan kebaikan yang pertama.
Semoga kita dapat meniru para orang-orang shalih terdahulu. Wallohu Alam Bishowab.

Diambil dari berbagai sumber @kangrud